Oleh: Khotibul Umam
We will not go down
In the night without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight*
Siapa pun ketika mendengar sepenggal lirik lagu tersebut yang begitu sederhana namun penuh interpretasi nyata, pasti akan langsung tersentuh akan bagaimana keadaan yang dimaksud di sana, Gaza Palestina. Tak terhitung yang berbela sungkawa, membela, memperjuangkannya, dan juga berkata, bahwa mereka adalah korban kebengisan bangsa Israel, terlepas entah apa yang membuat Israel begitu brutal kepadanya. Di luar sana sudah tak terhitung yang menulis fakta tentangnya, tapi coba bayangkan bahwa dalam kaca mata lain, mereka lah korban enigmatis cinta yang berlebihan.
Entah itu kesungguhan cinta, enigmatis cinta atau rekayasa penuh tipu daya belaka, pasti kemudian akan terlihat pada apa dan bagaimana yang katanya mencinta memperlakukan pada apa yang dicinta. Sebagian bilang jika kau ingin melihat kebenaran akan cinta, maka lihatlah bagaimana ibu melayani anaknya, lebih jauh lagi lihatlah bagaimana Tuhan melayani dan memperlakukan dirimu dan seluruh makhluk alam semesta.
The Promise Land (tanah yang dijanjikan) menjadi kata sekaligus isu penuh gema di mana-mana, yang bisa dijelma menjadi senjata pembunuh siapapun laik jenis Machine Gun buatan Jerman, oleh mereka yang kini menjadi salah satu negara dengan sorotan terbanyak, Israel. Itulah salah satu isu andalan sekaligus dalih sehingga mereka tetap kokoh dan tak mau goyah untuk mendapatkan tanah yang katanya dijanjikan untuk mereka, palestina, hingga tak lagi mengenal apa itu belas kasih terhadap sesama.
Baiklah, palestina yang kemudian dianggap bahkan diaku-akui oleh Isreal sebagai The Promise Landnya mereka, pada nyatanya tak jarang para pakar mengingkari hal tersebut. Menurut Anis, salah satu dosen kajian timur tengah, Isu inilah yang dijadikan alasan untuk mengagresi tanah Palestina, mengusir warganya, dan melakukan pembantaian demi pembantaian hingga detik ini, sehingga negara-negra lain akan memaklumi atas apa yang dilakukannya. Lebih lanjut, Prof. Roger Garaudy, seorang ilmuwan Prancis pun pernah menyatakan bahwa isu The Promise Land versi Israel tersebut merupakan mitos belaka.
Cinta ditolak dukun bertindak. Begitulah kira-kira kata mereka yang buta akan cinta sembrono. Apa yang kemudian israel lakukan, kalo dalam kacamata bahasa saya sendiri, simpelnya adalah cinta yang brutal dan sembrono hingga menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkannya tanpa peduli terhadap apa-apa imbas yang terjadi. Pokok mereka mendapatkan apa yang menurutnya miliknya walau hanya sekedar apa yang dijanjikan sejak dulu kala (katanya sih,).
Dalam hal ini tentu tak bisa dinafikan adanya korban. Ya, korban dari ulah mereka (Israel) tak lain adalah salah satu saudara kita. Namanya terpatri di relung hati terdalam siapa pun, dan belahan bumi mana pun, terlebih mereka-mereka yang dianugerahi ‘athifah lebih dalam melihat fakta sosial sekitar. Sebut saja Michael Heart, sembari menilik potongan bait lagu di atas. Namanya sudah tak asing lagi di telinga kita, berkat lagunya dengan judul We Will not Go Down dan Gaza Tonight. Taufik Ismail, pun juga salah satu sastrawan kepunyaan negeri kita yang punya beberapa karya puisi tentang palestina, salah satunya berjudul Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu. Ya, mereka-mereka lah yang karena rasa sedih terhadap saudaranya, lantas mencipta bait-bait tersebut.
Coba berdiri dan kemudian pandang dari sisi lain, bagaimanapun apa yang mereka timpa sampai sedari dulu sampai saat ini, nyata-nyata banyak melahirkan para sejarawan, sastrawan, sosialis, kritikus politik. Tidakkah kita juga berterimakasih untuk kemudian mendoakannya. Selama ini tak jarang yang tergugah akan hal ini. setidaknya dengan keadaan mereka sekarang, musibah yang menimpanya, mereka masih memberi kita pelajaran yang jarang kita sadari yaitu, menyadarkan bahwa apa-apa yang telah ditakdirkan Allah, baik itu secara kasab mata menyakitkan, menyedihkan, penuh lara, asa, pasti ada hikmahnya. Tak ada yang sia-sia atas apa yang ditakdirkan kepada makhluknya.
Akhirnya, Mari kita sebagai saudara, sudah selayaknya ikut merasa iba, duka, dan lara, serta tentunya menolong. Menolong tidak semata harus langsung terjun kepada mereka di tanah palestina sana. Karena banyak juga yang (maaf) langsung terjun, namun pada nyatanya malah ada niatan pribadi, entah itu material maupun non material, simpelnya biar bisa dapet gelar peduli sosial, Humans social volunteer, serta entah social-social (apalah itu) yang lain. Dari doa yang sungguh-sungguh pun bisa kita lakukan, namun ingat, tetap jangan menyalahkan mereka yang memang punya niatan baik untuk langsung ke sana, justru kagumlah pada mereka atas keikhlasan dan keberaniaanya yang belum bisa kita tiru. Meminjam istilah Gus Mus Jangan pandang sesuatu dari satu sisi, agak longgar lah, biar tidak kagetan dan gampang menyalahkan.
*kutipan lirik lagu We will not go down karya Michael Heart