Perkenalkan namaku, Manzilatul Ulya. Aku berasal dari Pulau Sapeken, Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur. Sejak kelas dua SD, aku ingin sekali menjadi penghafal Alquran. Motivasi terbesarku adalah ingin sekali memberikan mahkota kemuliaan dan jubah kebesaran kepada kedua orang tua kelak di akhirat nanti. Aku juga ingin sekali bisa berkumpul dan bergabung dengan keluarga Allah karena keluarga Allah adalah orang-orang yang hebat yaitu para penghafal Alquran.
Aku belajar menghafal Alquran di Madrasah Aliyah Al Irtiqo International Islamic Boarding School Malang. Aku ingin membagikan kisah awal selama di sekolah ini, ya.
Simak cerita ini. Jangan sampai bosen. Hehe.
***
“Hore sebentar lagi ke pondok, ngak sabar banget ketemu temen baru, ustadz ustadzah baru, suasana pondok baru semuanya deh!” seruku.
Aku baru saja lulus dari Pondok Pesantren Raudlatul Muhibbin. Lalu, berencana kembali melanjutkan pendidikan ke pondok lagi. Pondoknya lumayan jauh, tetapi aku sudah terbisa merantau meninggalkan keluarga tercintanya sejak usia 12 tahun.
Kisah awalku masuk di sekolah ini adalah ketika Pak Burede datang ke rumahku. Ia masih memiliki ikatan keluarga kami. Ia bercengkrama dengan ibu dan juga bapakku sepertinya itu sangat penting dan serius sekali. Setelah Pak Burede pergi, Ibu langsung menceritakan isi pembicaraannya dengan Pak Burede.
“Pak Burede menyampaikan amanah dari atasannya yang bernama Hj. Ramli beliau meminta 10 anak yang ingin melanjutkan SMA dengan berbasis beasiswa,” ungkap Ibu.
Aku senang tak karuan mendengar hal itu. Wajahku langsung berseri-seri.
“Siapkan dulu data-datanya yang akan dibawa, habis itu packing-nya barang-barangnya, kamu akan berangkat kapal ini,” jelas Ibu membuat kagetku berlipat-lipat.
Dua hari setelah itu, kapal yang akan kutumpangi siap berangkat. Sayangnya, Bapak tidak bisa ikut mengantar. Ia sakit. Sebelum berangkat, aku meyakinkan lelaki terkasihku itu bahwa semuanya baik-baik saja. Kupeluk ia. Kutatap wajahnya dengan penuh harap.
“Berangkat, Nak,” ungkapnya membuat hujan di mataku bertengger.
Aku mengangguk. Langkah kakiku ditemani Ibu dan Adik begitu ringan menuju pelabuhan.
Suara bel kapal berbunyi satu kali yang menandakan penumpang harap naik ke atas kapal. Aku pun menaiki kapal. Begitu juga Ibu dan adik-adik. Selepas itu, Ibu turun begitu juga adik-adik.
Sebuah perpisahan yang sementara bersama anggota keluarga sudah digelar. Kini, aku tinggal mengikuti arus waktu hingga kapal ini berlabuh. Tepat pada Kamis, 18 Juni 2020, kapal ini telah berhasil melewati ganasnya lautan.
Sesampainya di Malang, aku beristirahat sejenak makan sebentar kemudian melanjutkan perjalan menuju sekolah. MA Al-Irtiqo’ International Islamic Boarding School namanya. Mataku begitu berbinar melihat gedung sekolah ini. Aku pun menaiki anak tangga satu per satu.
Sungguh, aku tak percaya impianku akan segera terwujud. Saat mengikuti acara olimpiade yang bertujuan untuk menyeleksi calon peserta didik baru, aku tak menyangka akan menjadi bagian yang mendapatkan rezeki diterima di sekolah ini. Makanya, memasuki gerbang dan menaiki tangga di sekolah, aku tak kuasa mengucapkan syukur.
Di tempat ini, aku tak hanya belajar ilmu pengetahuan, tetapi juga belajar sabar dan melatih mental. Aku juga lebih mandiri di sini. Hal lain yang mengasyikan adalah aku bisa melalui banyak hal bersama teman-teman.
Waktu perpisahan datang. Aku tak sadar durasi waktu kami di sekolah ini harus segera terhenti.
Sebelum waktu itu tiba, rasa syukurku menjadi berlipat lantaran aku bisa menghafal 21 Juz Alquran dalam waktu tiga tahun. Kalau ditanya soal kesan selama menghafal Alquran. Aku ingin kembali mengingatkan bahwa, “Seseorang yang berusaha untuk menjadi keluarga Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Artinya, mereka berusaha untuk selalu dekat dan ingat pada Allah di mana pun dan kapan pun berada dengan cara menghafalkan kitab yang Allah turunkan, yaitu Alquran.” Kalau ditanya pesan untuk teman-teman yang sedang berjuang menghafal Alquran, aku ingin mengatakan bahwa, “Jangan pernah tinggalkan murajaah apa pun itu nggak papa hafalannya masih sedikit yang penting lancar murajaah itu lebih baik dari pada banyak hafalannya, tapi tidak pernah untuk memurajahinya itu tidak ada gunanya.”